Langkah ku semakin lelah
Berjalan menyusuri
Mondar-mondir, di keramaian kota
Hati yang bingung lamaran kerja di tolak
Enggak tau kenapa, kurang syaratnya
Andai saja aku punya harta yang berlimpah
Aku takkan terhina
Pikir-pikir daripada ku melamar kerja
Lebih baik ku ngamen saja…
----
“permisi ibu, permisi bapak” anak kecil itu mengulurkan tangannya yang tampak dekil. Kering. Hitam. Aku menjadi terenyuh melihatnya. Tanpa berpikir panjang, aku berikan ia uang lembaran ribuan yang berjumlah lima lembar kepadanya.
“ni… dek, berbagi dengan teman-temanya ya” sahutku. Memberikan sedikit nasehat, tidak mengapa kan? Daripada Diki temanku yang satu ini. Jika sudah namanya membaca buku. Dia sudah seperti perangko dengan amplopnya. Langsung nempel dengan bukunya. Susah sekali untuk di comot. Aku mencoba menyenggol dia dengan sikutku. Berharap dia kembali lagi keduniaku. Sebab sudah dua puluh lima menit dia
terbang kedunia hayal bersama bukunya.
“Dik, kamu enggak denger ada pengamen” tanyaku.
“denger” jawabnya. Namun tak sebelahpun matanya melihat kearahku. Anak ini sudah pasti terhipnotis dengan novelnya. Batinku.
“terus…” Aku berusaha untuk memancingnya mungkin ada jawaban lain.
“terus…” jawabnya
“lo… orang nanya, malah balik nanya” aku mulai kesal “Dik..., sebenarnya kamu denger saya ngomong apa enggak?” aku mulai menaikkan sedikit nadaku. Boleh di bilang sedikit tegas.
“Wak..!” emangnya saya IWAK (Ikan), panggil saya DEWA. Hatiku protes. Dia mulai menolehkan kepalanya ke arahku. Itu bertandanya kali ini dia mulai meresponku dengan baik.
“ya” jawabku dengan cueknya.
“aku mendengar semua yang apa yang barusan kamu omongin, jika seandainya kupingku ini berada di bawah telapak kakiku, baru aku tidak mendengar. Coba karena apa?” aku menggeleng, kok nyampek
telinga di bawah kaki segala pembahasannya. “karena ke-injek dan di tutup sepatu. Coba kamu bayangin” aku coba bayangin “udah ah gak usah di bayangin, aku paling gak suka saat aku lagi baca di ganggu”
lanjutnya lagi. Tapi gak ada intinya kan. Uuh…
“aku hanya mencoba mengetes kamu saja, apakah kamu itu masih disini atau sudah terbang dengan novelmu itu. Oya… kamu dengerkan tadi ada pengamen” tanyaku lagi.
“iya…” jawabnya sekenanya. Terkesan cuek. Dengan posisi bola matanya tetap ke arah segumpal kertas yang ada di tanganya.
“memangnya kamu merasa kasihan?” tanyaku lagi.
“kasihan…” jawabnya. Dengan nada yang sama. Datar. Sudah seperti papan irisan bawang.
“kamu tidak memberikan uang recehanmu” tanyaku lagi.
“enggak…” masih dengan idem yang di atas.
“kenapa?” idem lagi.
“nanti kebiasaan” bibirnya mulai di songokin.
“kok kebiasaan, mereka itu lagi butuh Dik. Memangnya mau mereka menjadi seperti itu, salahkah mereka menjadi pengamen. Keadaan Dik, keadaan yang membuat mereka seperti itu” aku tidak terima argumen
Diki seperti itu.
“Tau ah..” katanya.
“Pfuuh… temanku satu ini susah sekali untuk di nasehati” gerutuku. Akhirnya aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Diki? Ah, anak itu sudah pasti sibuk dengan bukunya.
***
Sekilas aku ceritakan persahabatan Diki dan Aku (Dewa). Panggil aku Dewa. Jangan seperti sahabatku Diki. Memanggilku seperti ingin memancing ikan.
Diki adalah sahabatku semenjak SMP. So pasti kami sudah begitu akrab sekali. Seperti Twin. Tapi Twin kali ini sangat jauh berbeda. Bukan seperti pinang di belah dua. Tapi pinang di belah dua, yang satu ke
tergenjet pintu. Sudah pasti tidak sama lagi rupanya. Dan sudah pasti yang kegenjet itu aku.
Tapi ada yang sama. Jikalau kami sudah bertemu ributnya minta ampun. Sering berantem, tidak ada kata minta maaf, tapi otomatis bisa akur sendiri. Aneh kan?.
Tidak ada dendam. Walaupun sering berbeda pendapat.
Seharusnya orang-orang di DPR dan MPR itu sama seperti kami. Walau berbeda pendapat. Tidak perlu ada kata minta maaf. Tapi sudah saling memaafkan. Tidak ada dendam. Bukankah itu lebih indah.
Saat ini kami sudah menginjak dewasa. Sudah sama-sama kuliah. Diki masuk kuliah di UI. Selain dia pintar orang tuanyapun cukup berada. Kalau aku?. Bisa kuliah seperti sekarang saja sudah Alhamdulillah.
Walaupun itu aku lakukan dengan memeras keringat yang bercucuran darah (enggak segitunya kali). Namun aku tidak kuliah di UI. Aku kuliah di sebuah Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta ini.
Namun sekarang kami jarang sekali ketemu. Karena kesibukan kuliah yang terlampau padat.
Namun hari ini Diki menghubungiku, mau ngajak jalan-jalan. Katanya. Tapi sampai detik ini dia tidak mau cerita mau kemana.
“sabar, nanti kamu tahu sendiri” jawabnya, saat aku coba menanyakan hal itu.
Akhirnya mikrolet S15 yang kami tumpangi, tiba juga di pasar minggu.
Sebuah daerah yang tampak kusut dan kumuh oleh pedagang-pedagang
traditional, yang menjajakan sayur dan buah-buahan.
Kami segera turun dan menuju stasiun kereta. Diki segera menuju loket dan menukarkan lembaran rupiah dengan dua ticket kereta.
“kota! Dua pak” ucap Diki kepada petugas loket.
Selanjutnya
kami berjalan menuju tempat pemberhentian kereta. Diki menyerahkan
tiket kepada petugas Koridor untuk di periksa. Dan mempersilakan kami
masuk. Kami duduk di tempat ruang tunggu kereta ke arah kota. Diki
bilang mungkin bisa memakan lima belas sampai tiga puluh menit menunggu.
Dan saat waktu tunggu tersebut kami terlibat dalam percakapan tentang
kampus masing-masing. Namun tiba-tiba percakapan kami di sela oleh
seorang pengemis bapak-bapak, yang tidak terlalu tua, jua tidak terlalu
muda. Berdiri tegap, dan berbaju tampak kusam dan sedikit kotor.
“pak,
tolong pak” dia menyodorkan tangannya memohon kepada kami. Aku tidak
tahan melihatnya. Rasa ibaku langsung muncul. Aku coba merogoh uang di
kantongku. Ah, masih ada seribu. Aku berikan kepada bapak tersebut. Kamu
tahu apa yang Diki lakukan?. Dia justru memicingkan matanya kearahku.
Menandakan ketidak sukaannya atas sikap ku tadi.
“kasihan Dik…” jawabku.
Akhirnya
keretapun tiba. Tampaknya saat ini tidak terlalu penuh. Kami segera
masuk ke gerbong nomor tiga. Tidak lama kemudian terdengar suara toa
bertanda kereta akan mulai berangkat kembali. Setelah itu terdengar
denyitan kereta yang bergerak secara lambat-laun, lalu sedikit cepat,
dan cepat.
Kami berjalan menuju gerbong-gerbong kereta,
sambil menyeimbangkan tubuh dengan kereta agar tidak oleng. Setelah
tiba di gerbong yang kedua, ternyata masih ada tempat duduk yang kosong.
Alhamdulillah, bangku kosong dua berdampingan. Kami langsung menuju
bangku tersebut dan segera duduk.
Dalam keasikan kami mengobrol, tiba-tiba terdengar suara serak datar, dan jelas sekali itu suara bapak-bapak.
“dek…
buah jeruk” kata bapak tersebut yang memandang lekat kearah kami,
mungkin sedari tadi tidak ada yang membeli. Dia sedikit tampak lesu.
Astaghfirullah. Aku kaget, lengan sebelah kanannya tidak ada.
“satunya berapa pak” Tanya Diki dengan suara agak rendah.
“seribu dek” jawab bapak tersebut.
“tolong di bungkus empat puluh biji ya pak” pinta Diki. Aku hanya diam. Buat apa beli sebanyak itu.
“baik
dek saya bungkus” jawab bapak itu dengan sumringah. Setelah di bungkus
Diki mengeluarkan uang lima puluh ribuan dan diserahkan kepada bapak
tersebut.
“ada uang kecil saja dek” Tanya bapak. Sepertinya dia tidak memiliki uang kembali..
“sisanya bapak ambil, buat tambahan modal” kata Diki, dengan senyum kecil khasnya.
“terima kasih, terima kasih ya dek” sambil tangan bapak itu menelungkup di dadanya. Tampak sekali warna keceriaan di wajahnya.
Setelah bapak itu pergi, Diki menawarkan buah jeruk tersebut kepada ku. Sambil menguyah jeruk, saya mulai bertanya.
“saya heran sama kamu!” kataku tertahan
“heran kenapa?” dia balik bertanya
“bukankah yang kamu lakukan ini berlebihan”
“berlebihan gimana?”
“ya…,
kamu beli jeruk yang banyak, emangnya kita mau makan semua jeruk-jeruk
ini dan uang yang kamu berikan, justru kelebihan. Bukankah itu juga
mubazir. Bukankah kelebihannya bisa diberikan kepada pengamen, pengemis.
Soalnya bapak tadi saya lihat sudah cukup dan terkecupi dibandingin
pengamen dan pengemis. Gimana gak yang jadi kaya tambah jaya, yang
miskin tambah melarat” kataku agak sedikit membara. Aku lihat Diki hanya
diam. Dia terus mengunyah jeruknya. Setelah selesai, dia mengeluh
panjang seakan-seakan baru tiba dari perjalanan jauh. Entah apa yang
dipikirkannya.
“Wak…” tu akan lagi “kerja harus pintar,
berkawan juga harus pintar memilih, begitu juga dengan bersedekah. Juga
harus pintar-pintar menempatkan uang kita untuk sedekah” Diki dengan
bijaknya memotong pendapatku. Aku akui memang benarnya adanya. Tapi
memang dasar “EGO” selalu ingin tetap merasa benar.
“lo…bukannya yang penting ikhlas, toh Allah juga yang menilai, bagus apa tidaknya” tangkisku dengan jurus umum.
“wak…”
aduh… sudah berapa kali aku ingetin, aku bukan Iwak. Sebel. “yang
bilang ikhlas itu gak penting siapa? Ikhlas itu kudu penting, yang aku
maksud adalah pintar dalam meletakkan sedekah kita, bukannya hanya
karena kasihan, tapi lebih dari itu, pikirkan juga ke arah depannya,
sedekah kita bergerak kemana aja, untuk, dan hasilnya apa” jelasnya
panjang banget.
“waduh…, sudah seperti memanage keuangan Negara saja” jawabku heran.
“jika
dari sedekah saja kita tidak mengetahui juntrungnya kemana, bagaimana
dengan uang Negara. Tidak herankan, jika banyak korupsi di sana-sini.
Kita tidak tahu uangnya bergerak sampai kemana. Yang kita pikirkan hanya
Ikhlas. Toh, seperti kata Fahri dalam ayat-ayat cinta “akal sehat juga
wahyu, gak selamanya perasaan harus di turuti” apa lagi perasaan sebatas
hanya kasihan, mereka bukan hanya butuh di kasihani, tapi lebih dari
itu”. Diki berhenti. Lalu kami diam. Bisu. Tak ada suara.
“terus,
berarti aku salah dong memberikan sedekah kepada pengamen, pengemis,
peminta-minta” tanyaku mulai membuka suara dengan sedikit menyengak.
“tidak
ada yang mengatakan kamu salah kan. Tapi aku belum mengatakan ke kamu
bahwa caramu itu tidak tepat, sebab dengan kamu memberikan uang recehan
kepada mereka sepertinya kamu menolong dan membantu mereka, padahal
tidak!”, aku langsung memotong
“TIDAK?” tanyaku heran, agak sebel.
“ya…,
TIDAK. Sebab itu tidak mengajarkan mereka untuk bekerja keras,
memikirkan bagaimana untuk bisa lebih baik. Mereka akan pasrah dengan
nasib sekarang saat ini, mereka akan berpikir untuk apa mencari
pekerjaan susah-susah, toh dari mengamen saja, jika rajin mengumpulkan
sehari bisa lima belas ribu, tinggal di kalikan tiga puluh hari, sebulan
bisa mengantongi empat ratus lima puluh ribu rupiah. Gaji SPG di toko
BLOK M saja rata-rata lima ratus hingga tujuh ratus lima puluh ribu
rupiah. Jika orang-orang berpendidikan seperti kita memberikan peluang
dan ladang pekerjaan sebagai pengamen, pengemis itu berarti kamu mau
negara kita ini penuh dengan orang pengamen. Memangnya kamu tidak ingin
memiliki negara yang tidak ada pengamen dan pengemisnya. Memangnya kamu
tidak ingin memiliki negara yang warganya malu berpangku tangan, tapi
tidak malu bila jadi pedagang lapak atau pemulung yang bekerja keras,
bukankah itu lebih mendidik.” Diki sedikit berapi-api. Aku hanya diam
merenungi setiap kalimat yang keluar dari mulutnya.
Tiba-tiba
kereta berhenti. Terlihat tulisan “Stasiun Juanda” tergantung di antara
tiang-tiang di stasiun tersebut. Diki mengingatkanku bahwa kami harus
segera turun. Aku mengikuti langkah Diki menuju tangga ke bawah lorong.
Lalu kami memberikan karcis lepada petugas pintu. Setibanya di luar,
kami di sambut anak-anak yang menurutku tampak kumal, dekil, kotor tapi
wajah mereka begitu cerianya menyambut kedatangan kami berdua. Aku jadi
heran sendiri, tapi Diki tampak akrab dengan mereka.
“kak
Diki…, kita lama nih nungguin kak diki” celoteh gadis cilik yang
menurutku tampak imut, gak kalah dengan Dea Imut. Hanya tampak kumal,
dan kotor saja yang membedakan dia dengan artis cilik Dea Imut.
“maafin kakak ya…, kakak yang lain kemana?” tanya Diki.
“itu…” telunjuk gadis cilik itu menunjuk ke arah bawah tangga stasiun.
“Ayo,
kita kesana” ajak Diki. Lalu kami menuju kearah yang di tunjuk gadis
cilik tersebut. Di sana kami sudah di tunggu, mbak-mbak yang pake jilbab
dan mas-mas yang berjenggot tipis. Sejuk sekali melihat wajah mereka
dengan seutas senyuman menyambut kami.
Lalu Diki mulai
menceritakan berapa lama dia berkecimpung di organisasi ini, dan
memberikan pelajaran kepada anak-anak jalanan agar tidak buta huruf.
Menurutnya cara ini lebih baik dari pada hanya kasihan. Lalu Diki
memberikan arahan kepadaku bagaimana cara mengajarkan anak-anak jalanan
tersebut. Aku mulai menikmati mengajar mereka. Lucu. Kocak. Dan satu
lagi, gemesin. Gimana tidak, kadang mereka susah untuk di ajar, kadang
bandel, rewel. Jika sudah seperti itu, ada saja yang menangis dan
berantem. Barulah saat itu ibu-ibu mereka membantu meleraikan. Ada juga
yang pintar, cepat sekali menangkap pelajaran yang di berikan. Kata
Diki, mengajar adalah salah satu bentuk kesabaran. Sabar dalam
memberikan ilmu.
Diam-diam aku mengagumi sahabatku yang
satu ini. Berarti aku tidak salah memiliki sahabat seperti Diki. Kaya,
pintar dan ringan tangan. Aku jadi malu dengan diri sendiri. Sudah tidak
kaya, tidak pintar, kurang mengerti bagaimana memikirkan ke arah depan
bangsa ini. Bahkan contoh kecil sedekah aja tidak begitu paham. Uuhhh.
Tapi kata Diki, aku masih memiliki Ilmu. Ilmu itu ibarat lentera, selain
menerangi diri sendiri, juga bisa menerangi orang-orang di sekeliling
kita. Termasuk juga menerangi sedekah yang kita sedekahkan.
***
“tape…tape…”
terdengar teriakan suara serak penjual tape. Jadi ingat dengan komik di
majalah Annida tentang “Tape uli, tape uli, sudah capek enggak ada yang
beli”. Ah, aku beli saja tapenya, selain sudah lama tidak makan tape,
juga sekalian sedekah.
“tape ulinya di bungkus lima pak ya…” pintaku kepada bapak tukang tape
“baik den…” jawabnya.
“berapa pak…” tanyaku
“tiga ribu den…” jawabnya dengan senyum. Aku keluarkan uang lima ribu rupiah.
“sisanya di ambil saja pak, buat nambah modal” kataku, mengikuti perkataan Diki waktu lalu.
“terima kasih den…”
“kembali…”
ucapku membalas. Baru dua langkah aku beranjak dari tukang tape
tersebut. Terdengar suara handphone berdering. Aku mengira itu adalah
suara handphone ku, ternyata suara itu adalah suara ringtone hanphonenya
penjual tape tersebut.
“ya… pak Haji…apa…gak denger
nih pak Haji. Ooo… mau pesan tape buat pengajian lagi. Berapa pak Haji,
ya…ya…, baik pak Haji, lima gerobak ya…, baik pak haji saya sediakan.
Walaikum salam”. Klick, lalu abang tape itu menutup HP nokianya tipe
Xpress Music.
“glekk…?” aku hanya bisa menelan ludah. Tidak mengerti.
*** end ***