ShareThis

21 May 2011 0 comments

Cinta itu...?




Cinta itu menyenangkan, bukan menyusahkan

Cinta itu membuat bahagia, bukan membuat sengsara

Cinta itu menjaga, bukan mencampakkan

Cinta itu indah, bukan menyeramkan

Cinta itu membuat kita makin mencintai-Nya, bukan membuat kita melupakanNya

Cinta itu anugerah, bukan membuat musibah

Cinta itu rahmat, bukan membuat azab

Cinta itu menghalalkan, bukan mengharamkan

Cinta itu...?

Membuat yang buruk menjadi baik...

Jakarta, 25 December 2009 at 19:36

0 comments

Kerinduan Iman

Assalamu'alaikum

Apa kabar iman hari ini?

Sedang apa dia sekarang, apakah sedang berdzikir, shadaqoh, shalat, tawaf

Apa kah dia baik-baik saja, apa dia sekarang sedang mendengkur...atau mungkin sedang berjalan mencari tambahan batu bara yang akan membakar tungku kebenaran sehingga tetap me-ngebulkan asap Cinta-Nya...

Kenapa kamu iman...kenapa...kenapa....

Apa yang terjadi padamu saat ini, apakah kau sudah bosan dengan skenario Tuhan-mu, atau mungkin engkau sendiri yang menghindarkan diri dari-Nya... ataukah mungkin kau telah bosan dengan jiwa mu yang telah mati...beku...dan membatu....


Iman... jangan pergi...jangan pergi....engkaulah yang setia menemani raga dan jiwa ini untuk selalu mengajak dan berkunjung kerumah Tuhan-mu, bersilaturahmi dengan saudaramu, dengan para Malaikat yang menunggu di tiap-tiap pintu masjid Tuhan-mu saat jum'at menyapa pagi itu..., saat majlis taklim di hidupkan obor-obor tiap sudutnya, saat udara segar masuk ke dalam masjid, udara yang di kipaskan oleh kepakan sayap Malaikat-malaikat Tuhan yang setia menemani saat jiwa dan raga ini menuju sinarnya yang makin benderang.

Iman... apa yang kau lakukan saat ini, kenapa engkau mengikis dirimu sendiri dengan hal-hal yang tidak berguna, kenapa kau tidak pernah beranjak dewasa, kenapa justru kau makin tampak kurus ku lihat saat ini, apa kau kurang makan Ayat-Nya, apa kau tidak pernah di mandikan dengan air Tausiah yang sangat menyejukkan, atau mungkin kau kurang vitamin Cinta-Nya kepada sesama.

Ataukah mungkin jiwa dan raga ini yang selalu menahan dan enggan untuk mengajakmu kesana.....

Maafkan jiwa ini iman...maafkan raga ini iman.... seharusnya jiwa ini tak menghalangi engkau untuk mencari tambahan batu bara mu yang akan kau nyalakan di Tungku kebenaran, seharusnya jiwa ini tak selalu megikuti hawa nafsu yang buruk. Maafkan raga ini yang sibuk mengurus dirinya sendiri untuk di perlihatkan kabanggaanya.

Maaf kan iman...

Ps. Minggu, 30 Juli 2006 (11: 00 AM), Setelah ku belajar Aya-ayat Agung-Mu
0 comments

TERKADANG... TERKADANG...

Terkadang hidup harus memilih, terkadang hasil tak sesuai dengan keinginan, terkadang hati sering mengingkari, terkadang gaya dan style mengalahkan keindahan hati, kebanyakan terkadang itulah yang membuat hati terkadang selalu ragu untuk melangkah, ragu untuk mengambil tindakan. Takut salah, takut tidak sesuai, takut takut dan selalu takut. Memang manusiawi sih perasaan tersebut, tapi jika berlebihan malah membuat hati menjadi resah.

Sahabatku, kita memang membutuhkan yang namanya Ijazah, STTB, STK, Sertifikat dan apalah sejenisnya, tapi kadang kita sangat sangat terlalu menginginkan kertas tersebut. Memang tidak bisa di pungkiri jika kertas tersebut memiliki arti yang kedua dan bahkan pendukung hasil jerih payah kita belajar, tapi janganlah selalu kita nomor satukan sehingga terkadang ilmu yang lebih menjadi ragu setelah tertutup dengan ketidakjelasan kertas tesebut.

Maaf jika kata-kata saya terkesan menggurui, namun jauh di lubuk hati saya bukan itu maksud saya, tapi saya hanya mengingatkan kembali, mungkin sahabat-sahabat lupa akan hal tersebut.

Saya hanya jadi sedih mendapatkan sabahat-sabahat saya, sahabat kita, sahabat bangsa rela dan pergi untuk mencari sebuah kejelasan akan kertas tersebut. Dan bahkan lebih sedih lagi saat status sebuah tempat belajar menjadi bahan pertimbangan untuk kita terus maju atau tidak melanjutkan belajar di tempat tersebut.

Kesedihan saya bukan hanya itu, bahkan jiwa yang dulu ramai dan bercanda, bahkan mereka-mereka memiliki karakter yang sangat berbeda, unik dan mengasikkan, tapi sekarang saya merasa berada di tempat yang jauh, jauh dari segala keakraban yang dulu.

Saya masih ingat perjuangan saya dulu saat saya memutuskan untuk masuk sekolah SMP Terbuka yang pada saat itu baru di buka tahun pertama, dan tidak tahu akan kejelasan sekolah tersebut, namun saya lalui dengan tetap istiqomah dan yakin, inilah pilihan yang Allah berikan untuk saya, sekarang tinggal memanfaatkan kembali jangan sampai hilang di genggaman. Tidak tanggung-tanggung perjuangan saat itu, dimana kami tidak mendapat kan pelajaran yang cukup (memang tidak di pungkiri, jika biayanya jauh lebih rendah dari sekolah swasta sekalipun) tapi bukan itu yang saya cari, ilmu, ilmu, ilmu sekali  ilmu. Karena tanpa ilmu saya akan tersesat, tanpa ilmu saya gelap, tanpa ilmu saya buta, tanpa ilmu saya tidak tau tujuan saya akan kemana!. Perjuangan tidak sampai di situ, status kejelasan yang tidak menentu (walaupun itu program pemerintah) tapi saya yakin, jika suatu saat saya tidak di akui, saya masih punya ilmu. Karena status hanyalah boneka buatan pemerintah. Saat semester kami di beri soal paket B sedangkan pelajaran yang kami terima dari Modul-modul kiriman pemerintah adalah paket A, karena kami di anggap tidak dapat mengerjakan paket A. Justru yang terjadi apa? Setelah kami membaca soal paket A, justru lebih gampang di jawab di bandingkan paket B, lha wong yang di pelajari Modul paket A. Sejak itu Modul dan buku-buku khusus untuk SMP Terbuka malah di gunakan di SMP Negeri yang ternyata isinya lebih gampang di cerna. Saat kami telah memasuki kelas 3, kami di pindahkan dan bergabung dengan sekolah negeri regular (biasanya SMP Terbuka masuk siang, belajar mulai jam : 02:00 siang, dan Regular Negeri belajar jam : 08:00 pagi), itu pun juga karena siswa-siswa SMP Terbuka mulai rontok dan sudah tidak betah. Ya… akhirnya mulailah kami bergabung, walaupun duduknya dempet-dempetan (karena kelas memang sudah penuh oleh regular), dari itu kami sudah mulai berkembang, dan sedikit demi sedikit perubahan itu tertampak, yang pada akhirnya tetap kami tidak dapat melampui nilai SMP Negeri dan SMP PGRI, namun kami tidak berkecil hati, nilai rata-tata kami dapat melampui rata-rata dua sekolah tesebut yang di bangga-banggakan, karena di SMP Terbuka tidak ada yang memiliki nilai lebih tinggi dari dua sekolah tersebut, dan tidak pula lebih kecil, dan itu kami lalui belajar yang optimal selama 1 tahun belajar bergabung dengan siswa regular (sedangkan selama 2 tahun terlewat dengan ketidakjelasan belajar) bagaimana jika kami belajar bareng saat pertama kali kami masuk, ya mungkin sahabat-sahabat bisa bayangkan sendiri….

Sahabat tahu, setelah saya  pahami, ternyata karena niat kami yang ingin belajar dan tidak memikirkan status akan sekolah tesebut, kami hanya butuh belajar, belajar dan belajar. Ternyata status itu akan tidak berlaku setelah prestasi berada di depan kita, justru statuslah yang akan mengekor setelah prestasi di ukir.

Sahabatku yang masih di rundung masalah, di rundung ketidaktenangan jiwa, keresahan hati, kebimbangan keputusan. Jangan putus asa, jangan takut mengambil sikap.

Sahabatku yang membaca tulisan ini, bukan maksudku menahan jiwa sahabat untuk terus berada di posisi saat ini, namun pikirkanlah, jika itu lebih baik, lakukanlah. Jika itu sesuai dengan keinginan hati kerjakanlah. Jika tidak sesuai dengan keinginan hati buat apa di tahan-tahan, carilah yang sahabat cari. Masing-masing jiwa memiliki keinginan dan pemikiran yang berbeda, itu karunia Allah, jangan di pungkiri.

Tidak ada perjumpaan tanpa perpisahan, yah itu memang pepatah kuno dan basi, namun tidaklah salah jika masih kita pakai sampai saat ini. Jika kita tidak berpisah sekarang, suatu saat lambat laun pasti itu akan tejadi.

Sahabatku, aku masih ingat puisi dari sahabat karibku. Walaupun ada sedikit perubahan, namun mungkin bisa jadi renungan.

Sahabatku….

Jika engkau sudah tidak betah berada di tempatmu saat ini

Lihatlah pekerjaanmu, mungkin bisa menyenangkan, buat apa kamu resahkan.

Namun jika dari pekerjaanmu pun sudah tidak menyenangkan,

Mungkin masih ada di sudut lain yang memberi warna, mungkin suasananya yang akrab sehingga engkau masih betah.

Tapi jika itu pun juga tidak mengobati, mungkin masih ada lagi, coba engkau lihat orang-orangnya, mungkin antik, menarik, bahkan mungkin unik.

Tapi jika hal tersebut sudah tidak mendukung lagi, tempat yang tidak betah, pekerjaan yang membosankan, suasana yang tidak menyenangkan serta orang-orang yang menyebalkan, mungkin masih ada lagi yang terlewat olehmu.

Mungkin gedungnya yang megah dan indah, engkau masih bisa memandangnya saat engkau pulang dari rutinitas mu yang mungkin memberikan suasana lain, jika itupun juga tidak mempan, masih ada burung di sekitarnya, langit, awan, tanah, rumput, bahkan mungkin suasana pulang pergi engkau yang mungkin memberi kesan.

Jika semua itu sudah engkau lakukan, sudah muak dengan semua itu, sudah tidak mampu, buat apa engkau masih bertahan di situ, apalagi yang engkau cari, sekarang pergilah, pergilah, carilah apa yang engkau cari, wujudkan apa keinginanmu. Jangan lagi engkau tunda, pergilah sahabat….mudah-mudahan itu jalan terbaik.

Yakinlah dengan kemantapan hatimu, yakilah dengan janji Allah, yakinlah dengan hatimu sendiri. Engkau bahagia kamipun akan ikut bahagia.

Semoga Allah merahmati setiap langkahmu menuju keridhaannya.

Sahabat yang memikirkan sahabat

Pasar minggu: 20 April 2007 at 08:08 PM

by abu haripin
0 comments

Cintanya Ayat-ayat Cinta




Ry...malam itu bagaikan mendapat pelajaran berharga, sulit tuk di ungkapkan, begitu indah susunan kata dan ceritanya ry... itu lo.. ayat-ayat cinta, yang lagi gempar-gemparnya, sungguh menakjubkan ! ceritanya mengalir begitu saja, sulit tuk di tebak kisah berikutnya..., makin kita ikuti ceritanya makin dalam keinginan kita tuk tahu kisah selanjutnya. Tau gak ry... malam itu belum sampai endingnya aku sudah pengen nangis, kadang sedikit tertawa en lucunya tidak norak, sangat dewasa, tidak mengajarkan namun mengajak belajar bareng-bareng. Kita bagaikan, bahkan serasa ikut bergabung dengan Fahri, kadang saya merasa aku ada di sampingya, ikut menemani perjalanannya, apalagi saat di Metro, saat ada pertengkaran, dia bagaikan cerita dan ngobrol dengan saya, sungguh penulisnya dapat memainkan alam bawah sadar pembaca sekaligus psikologisnya. Tau gak ry... setelah selesai membaca, rasanya pengen banget ngulang lagi ceritanya en pengen gak abis-abis. Namun apa lah daya penulisnya lah yang memutuskan kapan ceritanya dia akhiri. Sungguh ending yang membuat kita jadi terharu.



Saat ending cerita dari ayat-ayat cinta, ternyata yang di bahas adalah umum, masalah keuletan seseorang tuk menghadapi hari esok, betapa kita harus kuat memegang prinsip kita, bagaimana hidup bertetangga dengan non muslim, bagaiman kita harus toleransi, dan bagaimana menghadapi hidup ini, hari ini, esok dan esok lusa dan seterusnya...namun di buatnya sangat mengesankan. Itulah manusia yang dapat melahirkan dari yang biasa menjadi luarbiasa.








Satu lagi ry... dia membahas Cinta yang di kategorikan menjadi 5 (lima) yang di berikan pada empat wanita dan 1 pria, pada karakter manusia masing-masing.



1. Cinta yang tumbuh begitu saja dan tidak pernah di tata dengan baik, bahkan tumbuh liar, membuat pemilik cinta itu tidak terkendali. bahkan dari Cinta dan karena cinta itulah ia yang jadi pecinta menjadi pembenci, dan penuh dengan dendam kesumat saat cintanya tidak tersambut. Dan Cinta seperti ini sulit tuk di nasehati, seperti "Cinta Noura"



2. Cinta yang Tumbuh dari persabahatan, yang tidak pernah di ungkapkan, namun tetap di jaga dengan baik, walaupun tidak mendapatkan nasehat untuk cinta itu sendiri, bahkan cinta itu berani membawa dia ke tempat yang sangat jauh, dia rela korbankan dirinya. Seperti pengorbanan "Cinta Maria".



3. Cinta yang satu ini memang bandel, ngeyel, berani terbuka, namun Cinta ini mudah mengerti, saat Fahri menjelaskan cinta yang tak semestinya tumbuh sebelum adanya tali pernikahan, yang tidak membuat pemilik cinta itu tenang menghadapi hidupnya. Namun cinta ini mengerti, terbuka melapangkan dada, meyakinkan bahwa Tuhan tak pernah lepas dari tangan kita, Dia mengatur segalanya. "Cinta pertama Nurul"



4. Cinta ini sangat pemberani, dia ungkapkan saat sudah timbul , untuk menghindari sesuatu yang tidak di inginkan, namun penjaga cinta itu sangat menjaga kesucian cinta itu sendiri, bahkan tak pernah memberi ruang sedikitpun untuk setan merasuk dan ikut serta dalam dirinya. "Aisyah yang seperti Khadijah"



5. Cinta yang tak pernah menutup dirinya, melapangkan buat siapa saja yang ingin memetiknya, karena dia merasa inilah Anugerah dari Sang Khalik. Namun cinta ini pun harus memilih sesuatu yang bukan dari keinginanya namun keinginan Sang Khalik, karena keinginan Sang Khalik adalah keinginan dia. Karena di hambaNya, apapun yang Dia berikan itulah Amanah dariNYa. "Fahri Pelayan Ayat-ayat Cinta Sang Khalik"







 Aku sangat beruntung ry... selain membeli bukunya dapet diskon gede-gedean en saat beli bareng aku juga beli buku Zero to Hero, ternyata pelajaran yang dia berikan ada sedikit berkaitan dengan kisah yang ada di Ayat-ayat Cinta, contohnya kisah Fahri saat di penjara bagaimana apiknya si penulis menceritakan para ilmuan yang tumbuh dan jaya lewat penjara, ternyata di buku Zero to Hero di bahas ulang di "Inilah Prestasi Mereka", en di "Merekapun pernah Gagal". Ternyata kalau kita renungi hidup kita sendiri yang mungkin kita anggap sekarang kurang beruntung, justru kalau kita usut dari belakang, ternyata kita dulu lebih merana dari sekarang, hanya satu sih kekurang kita, kurang "Bersyukur" aja. Sulit banget tuk menimbulkan rasa Syukur. Kembali ke pembahasan, ternyata kita pun pernah mengalami kegagalan sebelumnya, yang sekarang jika kita telaah lagi jauh lebih beruntung dari sebelumnya, namun itu lah manusia selalu "tak pernah bersyukur" termasuk saya juga ry...



Padahal sebelumnya jika ada orang yang berada pada posisi kita, kita selalu menganggap mereka lebih beruntung dari kita, namun saat kita berada pada posisi mereka yang kita anggap beruntung, ternyata tetap kita masih merasa kurang beruntung, kurang...kurang...kurang... itulah manusia yang tak pernah merasa puas menghadapi nafsunya. Kadang saat kita sudah merasa nyaman, tenang, dan damai, kita selalu melupakan masa lalu kita, kita tidak pernah Feedback ke balakang yang merupakan pelajaran yang berharga. Betapa ternyata Allah mengatur skenario hidup kita jauh lebih apik dari Ayat-Ayat Cinta, karena Dialah Sang Maha Pengatur UmatNya, Dialah Sang Maha Penulis Kalimat-kalimat Yang Agung, Satu huruf tulisanNya tidak pernah yang tidak berarti dan tidak berguna, Sangat Menakjubkan, Sangat Mengangumkan.



di kamar kos yang sumpek di pasar minggu, jakarta 22 Maret 2008 at 12:27 PM

3 comments

TAK HANYA SEKEDAR IKHLAS

Langkah ku semakin lelah
Berjalan menyusuri
Mondar-mondir, di keramaian kota
Hati yang bingung lamaran kerja di tolak
Enggak tau kenapa, kurang syaratnya
Andai saja aku punya harta yang berlimpah
Aku takkan terhina
Pikir-pikir daripada ku melamar kerja
Lebih baik ku ngamen saja…

----

“permisi ibu, permisi bapak” anak kecil itu mengulurkan tangannya yang tampak dekil. Kering. Hitam. Aku menjadi terenyuh melihatnya. Tanpa berpikir panjang, aku berikan ia uang lembaran ribuan yang berjumlah lima lembar kepadanya.

“ni… dek, berbagi dengan teman-temanya ya” sahutku. Memberikan sedikit nasehat, tidak mengapa kan? Daripada Diki temanku yang satu ini. Jika sudah namanya membaca buku. Dia sudah seperti perangko dengan amplopnya. Langsung nempel dengan bukunya. Susah sekali untuk di comot. Aku mencoba menyenggol dia dengan sikutku. Berharap dia kembali lagi keduniaku. Sebab sudah dua puluh lima menit dia
terbang kedunia hayal bersama bukunya.

“Dik, kamu enggak denger ada pengamen” tanyaku.

“denger” jawabnya. Namun tak sebelahpun matanya melihat kearahku. Anak ini sudah pasti terhipnotis dengan novelnya. Batinku.

“terus…” Aku berusaha untuk memancingnya mungkin ada jawaban lain.

“terus…” jawabnya
“lo… orang nanya, malah balik nanya” aku mulai kesal “Dik..., sebenarnya kamu denger saya ngomong apa enggak?” aku mulai menaikkan sedikit nadaku. Boleh di bilang sedikit tegas.

“Wak..!” emangnya saya IWAK (Ikan), panggil saya DEWA. Hatiku protes. Dia mulai menolehkan kepalanya ke arahku. Itu bertandanya kali ini dia mulai meresponku dengan baik.

“ya” jawabku dengan cueknya.

“aku mendengar semua yang apa yang barusan kamu omongin, jika seandainya kupingku ini berada di bawah telapak kakiku, baru aku tidak mendengar. Coba karena apa?” aku menggeleng, kok nyampek
telinga di bawah kaki segala pembahasannya. “karena ke-injek dan di tutup sepatu. Coba kamu bayangin” aku coba bayangin “udah ah gak usah di bayangin, aku paling gak suka saat aku lagi baca di ganggu”

lanjutnya lagi. Tapi gak ada intinya kan. Uuh…

“aku hanya mencoba mengetes kamu saja, apakah kamu itu masih disini atau sudah terbang dengan novelmu itu. Oya… kamu dengerkan tadi ada pengamen” tanyaku lagi.

“iya…” jawabnya sekenanya. Terkesan cuek. Dengan posisi bola matanya tetap ke arah segumpal kertas yang ada di tanganya.

“memangnya kamu merasa kasihan?” tanyaku lagi.

“kasihan…” jawabnya. Dengan nada yang sama. Datar. Sudah seperti papan irisan bawang.

“kamu tidak memberikan uang recehanmu” tanyaku lagi.

“enggak…” masih dengan idem yang di atas.

“kenapa?” idem lagi.

“nanti kebiasaan” bibirnya mulai di songokin.

“kok kebiasaan, mereka itu lagi butuh Dik. Memangnya mau mereka menjadi seperti itu, salahkah mereka menjadi pengamen. Keadaan Dik, keadaan yang membuat mereka seperti itu” aku tidak terima argumen
Diki seperti itu.

“Tau ah..” katanya.

“Pfuuh… temanku satu ini susah sekali untuk di nasehati” gerutuku. Akhirnya aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Diki? Ah, anak itu sudah pasti sibuk dengan bukunya.

***

Sekilas aku ceritakan persahabatan Diki dan Aku (Dewa). Panggil aku Dewa. Jangan seperti sahabatku Diki. Memanggilku seperti ingin memancing ikan.

Diki adalah sahabatku semenjak SMP. So pasti kami sudah begitu akrab sekali. Seperti Twin. Tapi Twin kali ini sangat jauh berbeda. Bukan seperti pinang di belah dua. Tapi pinang di belah dua, yang satu ke

tergenjet pintu. Sudah pasti tidak sama lagi rupanya. Dan sudah pasti yang kegenjet itu aku.

Tapi ada yang sama. Jikalau kami sudah bertemu ributnya minta ampun. Sering berantem, tidak ada kata minta maaf, tapi otomatis bisa akur sendiri. Aneh kan?.

Tidak ada dendam. Walaupun sering berbeda pendapat.

Seharusnya orang-orang di DPR dan MPR itu sama seperti kami. Walau berbeda pendapat. Tidak perlu ada kata minta maaf. Tapi sudah saling memaafkan. Tidak ada dendam. Bukankah itu lebih indah.

Saat ini kami sudah menginjak dewasa. Sudah sama-sama kuliah. Diki masuk kuliah di UI. Selain dia pintar orang tuanyapun cukup berada. Kalau aku?. Bisa kuliah seperti sekarang saja sudah Alhamdulillah.

Walaupun itu aku lakukan dengan memeras keringat yang bercucuran darah (enggak segitunya kali). Namun aku tidak kuliah di UI. Aku kuliah di sebuah Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta ini.

Namun sekarang kami jarang sekali ketemu. Karena kesibukan kuliah yang terlampau padat.

Namun hari ini Diki menghubungiku, mau ngajak jalan-jalan. Katanya. Tapi sampai detik ini dia tidak mau cerita mau kemana.

“sabar, nanti kamu tahu sendiri” jawabnya, saat aku coba menanyakan hal itu.

Akhirnya mikrolet S15 yang kami tumpangi, tiba juga di pasar minggu. Sebuah daerah yang tampak kusut dan kumuh oleh pedagang-pedagang traditional, yang menjajakan sayur dan buah-buahan.

Kami segera turun dan menuju stasiun kereta. Diki segera menuju loket dan menukarkan lembaran rupiah dengan dua ticket kereta.

“kota! Dua pak” ucap Diki kepada petugas loket.

Selanjutnya kami berjalan menuju tempat pemberhentian kereta. Diki menyerahkan tiket kepada petugas Koridor untuk di periksa. Dan mempersilakan kami masuk. Kami duduk di tempat ruang tunggu kereta ke arah kota. Diki bilang mungkin bisa memakan lima belas sampai tiga puluh menit menunggu. Dan saat waktu tunggu tersebut kami terlibat dalam percakapan tentang kampus masing-masing. Namun tiba-tiba percakapan kami di sela oleh seorang pengemis bapak-bapak, yang tidak terlalu tua, jua tidak terlalu muda. Berdiri tegap, dan berbaju tampak kusam dan sedikit kotor.

“pak, tolong pak” dia menyodorkan tangannya memohon kepada kami. Aku tidak tahan melihatnya. Rasa ibaku langsung muncul. Aku coba merogoh uang di kantongku. Ah, masih ada seribu. Aku berikan kepada bapak tersebut. Kamu tahu apa yang Diki lakukan?. Dia justru memicingkan matanya kearahku. Menandakan ketidak sukaannya atas sikap ku tadi.

“kasihan Dik…” jawabku.

Akhirnya keretapun tiba. Tampaknya saat ini tidak terlalu penuh. Kami segera masuk ke gerbong nomor tiga. Tidak lama kemudian terdengar suara toa bertanda kereta akan mulai berangkat kembali. Setelah itu terdengar denyitan kereta yang bergerak secara lambat-laun, lalu sedikit cepat, dan cepat.

Kami berjalan menuju gerbong-gerbong kereta, sambil menyeimbangkan tubuh dengan kereta agar tidak oleng. Setelah tiba di gerbong yang kedua, ternyata masih ada tempat duduk yang kosong. Alhamdulillah, bangku kosong dua berdampingan. Kami langsung menuju bangku tersebut dan segera duduk.

Dalam keasikan kami mengobrol, tiba-tiba terdengar suara serak datar, dan jelas sekali itu suara bapak-bapak.

“dek… buah jeruk” kata bapak tersebut yang memandang lekat kearah kami, mungkin sedari tadi tidak ada yang membeli. Dia sedikit tampak lesu. Astaghfirullah. Aku kaget, lengan sebelah kanannya tidak ada.

“satunya berapa pak” Tanya Diki dengan suara agak rendah.

“seribu dek” jawab bapak tersebut.

“tolong di bungkus empat puluh biji ya pak” pinta Diki. Aku hanya diam. Buat apa beli sebanyak itu.

“baik dek saya bungkus” jawab bapak itu dengan sumringah. Setelah di bungkus Diki mengeluarkan uang lima puluh ribuan dan diserahkan kepada bapak tersebut.

“ada uang kecil saja dek” Tanya bapak. Sepertinya dia tidak memiliki uang kembali..

“sisanya bapak ambil, buat tambahan modal” kata Diki, dengan senyum kecil khasnya.

“terima kasih, terima kasih ya dek” sambil tangan bapak itu menelungkup di dadanya. Tampak sekali warna keceriaan di wajahnya.

Setelah bapak itu pergi, Diki menawarkan buah jeruk tersebut kepada ku. Sambil menguyah jeruk, saya mulai bertanya.

“saya heran sama kamu!” kataku tertahan

“heran kenapa?” dia balik bertanya

“bukankah yang kamu lakukan ini berlebihan”

“berlebihan gimana?”

“ya…, kamu beli jeruk yang banyak, emangnya kita mau makan semua jeruk-jeruk ini dan uang yang kamu berikan, justru kelebihan. Bukankah itu juga mubazir. Bukankah kelebihannya bisa diberikan kepada pengamen, pengemis. Soalnya bapak tadi saya lihat sudah cukup dan terkecupi dibandingin pengamen dan pengemis. Gimana gak yang jadi kaya tambah jaya, yang miskin tambah melarat” kataku agak sedikit membara. Aku lihat Diki hanya diam. Dia terus mengunyah jeruknya. Setelah selesai, dia mengeluh panjang seakan-seakan baru tiba dari perjalanan jauh. Entah apa yang dipikirkannya.

“Wak…” tu akan lagi “kerja harus pintar, berkawan juga harus pintar memilih, begitu juga dengan bersedekah. Juga harus pintar-pintar menempatkan uang kita untuk sedekah” Diki dengan bijaknya memotong pendapatku. Aku akui memang benarnya adanya. Tapi memang dasar “EGO” selalu ingin tetap merasa benar.

“lo…bukannya yang penting ikhlas, toh Allah juga yang menilai, bagus apa tidaknya” tangkisku dengan jurus umum.

“wak…” aduh… sudah berapa kali aku ingetin, aku bukan Iwak. Sebel. “yang bilang ikhlas itu gak penting siapa? Ikhlas itu kudu penting, yang aku maksud adalah pintar dalam meletakkan sedekah kita, bukannya hanya karena kasihan, tapi lebih dari itu, pikirkan juga ke arah depannya, sedekah kita bergerak kemana aja, untuk, dan hasilnya apa” jelasnya panjang banget.

“waduh…, sudah seperti memanage keuangan Negara saja” jawabku heran.

“jika dari sedekah saja kita tidak mengetahui juntrungnya kemana, bagaimana dengan uang Negara. Tidak herankan, jika banyak korupsi di sana-sini. Kita tidak tahu uangnya bergerak sampai kemana. Yang kita pikirkan hanya Ikhlas. Toh, seperti kata Fahri dalam ayat-ayat cinta “akal sehat juga wahyu, gak selamanya perasaan harus di turuti” apa lagi perasaan sebatas hanya kasihan, mereka bukan hanya butuh di kasihani, tapi lebih dari itu”. Diki berhenti. Lalu kami diam. Bisu. Tak ada suara.

“terus, berarti aku salah dong memberikan sedekah kepada pengamen, pengemis, peminta-minta” tanyaku mulai membuka suara dengan sedikit menyengak.

“tidak ada yang mengatakan kamu salah kan. Tapi aku belum mengatakan ke kamu bahwa caramu itu tidak tepat, sebab dengan kamu memberikan uang recehan kepada mereka sepertinya kamu menolong dan membantu mereka, padahal tidak!”, aku langsung memotong

“TIDAK?” tanyaku heran, agak sebel.

“ya…, TIDAK. Sebab itu tidak mengajarkan mereka untuk bekerja keras, memikirkan bagaimana untuk bisa lebih baik. Mereka akan pasrah dengan nasib sekarang saat ini, mereka akan berpikir untuk apa mencari pekerjaan susah-susah, toh dari mengamen saja, jika rajin mengumpulkan sehari bisa lima belas ribu, tinggal di kalikan tiga puluh hari, sebulan bisa mengantongi empat ratus lima puluh ribu rupiah. Gaji SPG di toko BLOK M saja rata-rata lima ratus hingga tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. Jika orang-orang berpendidikan seperti kita memberikan peluang dan ladang pekerjaan sebagai pengamen, pengemis itu berarti kamu mau negara kita ini penuh dengan orang pengamen. Memangnya kamu tidak ingin memiliki negara yang tidak ada pengamen dan pengemisnya. Memangnya kamu tidak ingin memiliki negara yang warganya malu berpangku tangan, tapi tidak malu bila jadi pedagang lapak atau pemulung yang bekerja keras, bukankah itu lebih mendidik.” Diki sedikit berapi-api. Aku hanya diam merenungi setiap kalimat yang keluar dari mulutnya.

Tiba-tiba kereta berhenti. Terlihat tulisan “Stasiun Juanda” tergantung di antara tiang-tiang di stasiun tersebut. Diki mengingatkanku bahwa kami harus segera turun. Aku mengikuti langkah Diki menuju tangga ke bawah lorong. Lalu kami memberikan karcis lepada petugas pintu. Setibanya di luar, kami di sambut anak-anak yang menurutku tampak kumal, dekil, kotor tapi wajah mereka begitu cerianya menyambut kedatangan kami berdua. Aku jadi heran sendiri, tapi Diki tampak akrab dengan mereka.

“kak Diki…, kita lama nih nungguin kak diki” celoteh gadis cilik yang menurutku tampak imut, gak kalah dengan Dea Imut. Hanya tampak kumal, dan kotor saja yang membedakan dia dengan artis cilik Dea Imut.

“maafin kakak ya…, kakak yang lain kemana?” tanya Diki.

“itu…” telunjuk gadis cilik itu menunjuk ke arah bawah tangga stasiun.

“Ayo, kita kesana” ajak Diki. Lalu kami menuju kearah yang di tunjuk gadis cilik tersebut. Di sana kami sudah di tunggu, mbak-mbak yang pake jilbab dan mas-mas yang berjenggot tipis. Sejuk sekali melihat wajah mereka dengan seutas senyuman menyambut kami.

Lalu Diki mulai menceritakan berapa lama dia berkecimpung di organisasi ini, dan memberikan pelajaran kepada anak-anak jalanan agar tidak buta huruf. Menurutnya cara ini lebih baik dari pada hanya kasihan. Lalu Diki memberikan arahan kepadaku bagaimana cara mengajarkan anak-anak jalanan tersebut. Aku mulai menikmati mengajar mereka. Lucu. Kocak. Dan satu lagi, gemesin. Gimana tidak, kadang mereka susah untuk di ajar, kadang bandel, rewel. Jika sudah seperti itu, ada saja yang menangis dan berantem. Barulah saat itu ibu-ibu mereka membantu meleraikan. Ada juga yang pintar, cepat sekali menangkap pelajaran yang di berikan. Kata Diki, mengajar adalah salah satu bentuk kesabaran. Sabar dalam memberikan ilmu.

Diam-diam aku mengagumi sahabatku yang satu ini. Berarti aku tidak salah memiliki sahabat seperti Diki. Kaya, pintar dan ringan tangan. Aku jadi malu dengan diri sendiri. Sudah tidak kaya, tidak pintar, kurang mengerti bagaimana memikirkan ke arah depan bangsa ini. Bahkan contoh kecil sedekah aja tidak begitu paham. Uuhhh. Tapi kata Diki, aku masih memiliki Ilmu. Ilmu itu ibarat lentera, selain menerangi diri sendiri, juga bisa menerangi orang-orang di sekeliling kita. Termasuk juga menerangi sedekah yang kita sedekahkan.

***

“tape…tape…” terdengar teriakan suara serak penjual tape. Jadi ingat dengan komik di majalah Annida tentang “Tape uli, tape uli, sudah capek enggak ada yang beli”. Ah, aku beli saja tapenya, selain sudah lama tidak makan tape, juga sekalian sedekah.

“tape ulinya di bungkus lima pak ya…” pintaku kepada bapak tukang tape

“baik den…” jawabnya.

“berapa pak…” tanyaku

“tiga ribu den…” jawabnya dengan senyum. Aku keluarkan uang lima ribu rupiah.

“sisanya di ambil saja pak, buat nambah modal” kataku, mengikuti perkataan Diki waktu lalu.

“terima kasih den…”

“kembali…” ucapku membalas. Baru dua langkah aku beranjak dari tukang tape tersebut. Terdengar suara handphone berdering. Aku mengira itu adalah suara handphone ku, ternyata suara itu adalah suara ringtone hanphonenya penjual tape tersebut.

“ya… pak Haji…apa…gak denger nih pak Haji. Ooo… mau pesan tape buat pengajian lagi. Berapa pak Haji, ya…ya…, baik pak Haji, lima gerobak ya…, baik pak haji saya sediakan. Walaikum salam”. Klick, lalu abang tape itu menutup HP nokianya tipe Xpress Music.

“glekk…?” aku hanya bisa menelan ludah. Tidak mengerti.

*** end ***
 
;